Selamat Hari Batik Nasional!
Hari istimewa ini selalu mengingatkan aku betapa kayanya Indonesia dengan warisan budaya, salah satunya wastra. Selembar kain bukan hanya penutup tubuh, melainkan juga penanda identitas, doa, filosofi, dan karya seni yang diwariskan turun-temurun.
Belakangan ini, aku sedang membiasakan diri untuk selalu mengenakan wastra Indonesia dalam keseharian. Rasanya ada kebanggaan tersendiri ketika bisa melangkah dengan kain yang sarat makna. Dan dalam rangka Hari Batik tahun ini, aku memilih merayakannya dengan mengenakan batik Lasem dari Batik Sekar Kencana by Sigit Witjaksono, sebuah kain yang bukan hanya indah, tetapi juga penuh cerita.
Mei 2014 lalu, aku punya kesempatan yang sampai sekarang masih membekas: sebuah perjalanan ke Lasem, kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah yang sering disebut “Tiongkok Kecil di Utara Jawa”. Hari itu aku dan suami ditemani Mas Pop menuju rumah batik Sekar Kencana, tempat di mana sejarah, budaya, dan seni seolah bertemu dalam satu ruang.
Begitu memasuki rumah itu, aku langsung teringat pada novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Dalam novel tersebut, rumah batik digambarkan sebagai sebuah rumah Jawa, pusat kehidupan, tempat keluarga bernaung, sekaligus tempat lahirnya karya-karya batik. Dan saat aku berdiri di depan ruang tamu rumah Pak Sigit, ingatan itu seperti muncul kembali.
Ruang tamunya sederhana, dengan aura yang tenang. Lantai ubin motif klasik, kursi kayu tua yang mengkilap karena usia, dan meja kecil di tengah ruangan. Dari sini, suasana rumah terasa seperti berhenti di masa lalu.
Di kanan dan kiri ruang tamu, terdapat terdapat selasar dan kamar yang berjajar rapi. Sementara itu, di bagian belakang rumah, area membatik menjadi jantung aktivitas. Bau malam yang khas kadang tercium samar, seolah menyapa dari ruang belakang.
Saat kami duduk, Pak Sigit mulai bercerita dengan nada tenang, sesekali matanya menerawang jauh. “Batik Lasem ini dulu hidup di setiap rumah,” ujarnya. “Kalau kalian jalan di Babagan atau Karangturi, hampir semua rumah itu rumah batik. Ada yang masih bertahan, tapi banyak juga yang sudah berhenti. Sekarang tinggal jejak.”
Mendengar cerita beliau, aku teringat kembali pada novel Canting. Bedanya, rumah dalam novel itu kental dengan nuansa Jawa, sementara rumah Pak Sigit memperlihatkan perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa. Ukiran kayu, susunan ruang, hingga detail altar kecil di pojok rumah menegaskan identitas ganda itu. Dan di situ pula aku melihat wajah khas Lasem: sebuah percampuran yang indah, kadang rumit, tapi penuh makna.
Sambutan hangat dari almarhum Pak Sigit Witjaksono menambah kesan istimewa kunjungan itu. Beliau bukan hanya seorang pengusaha batik, tapi juga tokoh Tionghoa Lasem yang dihormati sebagai sesepuh. Wibawa dan keramahan beliau membuatku merasa seolah sedang berbicara dengan seorang tetua keluarga, bukan sekadar pemilik batik.
Di ruang itu, percakapan kami mengalir panjang. Pak Sigit bercerita tentang Batik Tiga Negeri, kain legendaris yang melibatkan tiga pusat batik berbeda: soga dari Solo, biru dari Pekalongan, dan merah dari Lasem. Merah Lasem dikenal dengan sebutan abang getih pitik, merah darah ayam, yang dipercaya tak bisa ditiru di tempat lain karena kandungan mineral pada air Lasem.
Beliau juga menunjuk rumah-rumah tua di Babagan dan Karangturi. Dulunya, rumah-rumah itu berfungsi ganda: tempat tinggal sekaligus tempat membatik. Kini, kebanyakan hanya tinggal bangunan bisu. Dengan nada prihatin, beliau berkata pelan tapi jelas: “Ngga ada anak muda yang mau melanjutkan usaha batik.”
Kalimat itu sederhana, tapi bergema lama di kepalaku. Seperti potongan dialog dari Canting, di mana tradisi harus berhadapan dengan modernitas, aku menyaksikan kenyataan yang sama: perjuangan menjaga warisan agar tidak terkubur oleh waktu.
Siang itu, duduk di ruang tamu Batik Sekar Kencana, aku merasa sedang berada di persimpangan antara cerita fiksi dan kenyataan. Novel yang dulu hanya kubaca di halaman-halaman buku kini menjelma nyata di depan mata. Bedanya, kisah ini bukan sekadar milik tokoh-tokoh dalam Canting, tapi milik orang-orang Lasem, milik Pak Sigit, dan kini juga menjadi bagian dari perjalananku sendiri.
Ada satu fakta menarik yang membuatku tersenyum lebar: rupanya Pak Sigit pernah tampil sebagai pemeran pembantu dalam film Ca-Bau-Kan. Bagiku, ini bukan kebetulan biasa, tapi semacam takdir kecil yang manis.
Salah satu alasan aku berkunjung ke Lasem memang karena rasa penasaranku pada lokasi syuting film Ca-Bau-Kan, salah satu film Indonesia kesukaanku. Dari cerita Mas Pop, aku tahu Klenteng Cu An Kiong dan Vihara Karunia Dharma dijadikan lokasi pengambilan gambar. Itu saja sudah membuatku bersemangat: membayangkan adegan-adegan film yang pernah bikin hatiku terhanyut, lalu menjejak langsung di tempatnya.
Tapi siapa sangka, perjalananku justru menghadirkan kejutan lebih besar. Aku bukan hanya berhasil mengunjungi lokasi filmnya, tapi juga berhadapan langsung dengan salah satu tokoh yang pernah terlibat di dalamnya: Pak Sigit sendiri. Rasanya seperti melihat layar perak dan kenyataan saling berkelindan di depan mataku.
Pak Sigit bercerita dengan nada ringan tentang keterlibatannya di film itu. Bukan peran besar, katanya sambil tersenyum merendah. Tapi tetap saja, mendengar kisahnya membuatku makin yakin: Lasem memang istimewa. Setiap sudut, setiap tokoh, selalu punya cerita yang tak terduga.
Tak hanya soal film, Pak Sigit juga dikenal sering diundang sebagai dosen tamu di berbagai forum untuk berbicara tentang toleransi dan keberagaman. Baginya, batik bukan sekadar kain, tapi juga simbol pertemuan budaya. Ia percaya, kehidupan masyarakat Lasem yang sejak lama terdiri dari orang Jawa, Tionghoa, hingga komunitas lain, adalah bukti nyata bahwa perbedaan bisa hidup berdampingan.
Aku masih ingat jelas ketika beliau berkata dengan mantap:
“Bagi saya, sampai sekarang ini, presidennya ya Gus Dur.”
Kalimat itu diucapkan sambil beliau menunjuk sebuah foto tua di dinding: dirinya sedang berdiri di samping KH. Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4. Ada kebanggaan sekaligus rasa hormat yang memancar dari tatapannya saat bercerita. Gus Dur, bagi Pak Sigit, bukan hanya presiden, tapi juga simbol perjuangan untuk menjaga keberagaman dan kemanusiaan.
Momen itu membuatku merenung. Aku datang ke Lasem dengan ekspektasi sederhana: melihat rumah-rumah tua, menjejak lokasi film favorit, dan mungkin pulang dengan sehelai batik. Tapi aku justru pulang membawa lebih dari itu: kisah tentang toleransi, pertemuan lintas budaya, dan semangat hidup seorang sesepuh yang percaya bahwa warisan terbesar kita bukan hanya batik, melainkan juga cara kita saling menghormati sebagai sesama manusia.
Dalam kunjungan ke Batik Sekar Kencana itu, aku kagum melihat bagaimana warisan, budaya, dan kreativitas menyatu menjadi satu karya. Salah satu yang paling membuatku terpesona adalah karakter khas batik yang diciptakan oleh Pak Sigit, sebuah gaya yang bukan sekadar hiasan, melainkan pernyataan identitas, toleransi, dan akulturasi budaya. Aku sempat membaca tentang beliau di sebuah artikel, “Sigit Witjaksono, Seorang Tionghoa Nasionalis Pencetus ‘Batik Toleransi’” dan banyak poin menarik yang benar-benar terasa nyata saat aku berdiri di rumah kain itu.
Beberapa hal yang membuat batik dari Sekar Kencana tampak berbeda dan khas:
Pak Sigit menggabungkan unsur sinografi (kaligrafi / karakter Tionghoa) ke dalam motif-motif bunga (sekar). Ia menstilisasi huruf-huruf Cina agar harmonis menjadi bagian dari komposisi ornamen bunga dan motif tradisional Jawa. Dalam artikel yang aku baca itu menyebut karya tersebut dengaan “Batik Lasem Sekar Jagad Sinografi.”
Dalam setiap kreasi batik Sinografi-nya, sering ada kalimat-kalimat mutiara, pesan tentang panjang umur, kesehatan, keselamatan, keberhasilan, persaudaraan, dan perdamaian. Ia ingin agar batiknya tak hanya indah dipandang, tapi juga menyimpan pesan spiritual dan etika.
Sekar Kencana tetap memakai kombinasi warna khas Batik Tiga Negeri (merah Lasem, biru Pekalongan, dan soga Solo) sebagai fondasi paletnya. Dengan hadirnya unsur sinografi, corak bunyi warna itu terasa lebih kaya dan bermakna.
Menurut cerita, ketika Pak Sigit mulai memperkenalkan motif akulturasi , yaitu memasukkan unsur Tionghoa ke batik Jawa, istrinya sempat menentang ide itu karena dianggap “tidak pas.” Namun beliau menjawab, “Ya coba kita bikin saja, kalau tidak laku ya kita pakai sendiri.” Sikap itu menunjukkan keberanian beliau dalam menjaga orisinalitas dan menyuarakan toleransi lewat seni.
Ada pernyataan menarik dari beliau: “Cina, Jawa, Arab, dan lain sebagainya adalah sama.” Dia juga mengutip ungkapan Tionghoa: “Si Hai Zie Nei Jie Xiont Di Ye”, yang kira-kira artinya “keempat penjuru sama saja”, sebagai simbol bahwa tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah; semua manusia adalah satu.
Semua ciri ini, gabungan budaya, warna khas, keberanian inovatif, menjadikan batik Sekar Kencana karya Pak Sigit bukan hanya sebagai kain, tetapi sebagai manifesto toleransi dan pemersatu.
Di tengah koleksi batik karya Pak Sigit, aku tertarik pada satu helai yang terasa sangat personal: batik tulis kaligrafi bermotif Sekar Jagad yang diselingi motif batu pecah (atau kricak).
Motif Sekar Jagad secara harfiah bisa diartikan “bunga dunia” atau “bunga semesta”, sebuah metafora yang menunjukkan bahwa dunia itu seperti taman besar dengan bunga‐bunga berbeda, yang kemudian saling melengkapi dalam harmoni. Sementara motif batu pecah / kricak membawa simbol retakan, pecahan, sejarah patah yang kemudian menjadi bagian dari keindahan.
Di antara coraknya, tampak kaligrafi Tionghoa (sinografi). Aku sendiri tidak bisa membaca hurufnya, tapi ketika aku bertanya, Pak Sigit menjelaskan dengan suara lembut:
“Di empat penjuru lautan, semuanya adalah saudara.”
Kalimat itu langsung tertanam kuat di pikiranku. Betapa simpel dan universal sekaligus. Tak ada sekat, tak ada batas, hanya persaudaraan.
“Di empat penjuru lautan, semuanya adalah saudara” adalah ungkapan klasik dalam budaya Tionghoa yang sarat makna. Ia mengingatkan bahwa sejauh mana pun kita berkelana, seberbeda apa pun latar belakang kita, pada dasarnya kita tetap terikat oleh kemanusiaan yang sama. Lautan yang luas tak seharusnya menjadi pemisah, justru menjadi penghubung yang mempertemukan satu dengan lainnya. Filosofi ini selaras sekali dengan semangat Lasem, kota kecil yang sejak berabad-abad lalu telah menjadi titik temu berbagai budaya: Jawa, Tionghoa, Arab, hingga Belanda.
Dan buatku yang suka berjalan-jalan, makna itu terasa sangat dekat. Setiap perjalanan selalu mempertemukan aku dengan wajah-wajah baru, bahasa yang berbeda, kebiasaan yang kadang asing. Tapi di balik semua perbedaan itu, selalu ada ruang untuk senyum, sapa, dan rasa akrab. Seperti pesan di kain batik kaligrafi ini, traveling pun mengajarkanku bahwa dunia terasa lebih hangat kalau kita melihat semua orang sebagai saudara di empat penjuru lautan.
Jadi, ketika aku membawa helai kain itu pulang, bukan hanya selembar batik yang kubeli untuk menambah koleksi. Aku membawa harapan, doa, dan pengingat bahwa dalam tiap corak, kita bisa menemukan sesuatu yang menyatukan, bukan memisahkan. Setiap kali menatap batik itu, aku seolah diingatkan kembali pada senyum hangat Pak Sigit dan pesan toleransi yang ia titipkan melalui karyanya, pesan yang tak hanya berlaku di Lasem, tapi juga di tiap langkah perjalanan yang kujalani.
Kini, setelah Pak Sigit berpulang, kain itu terasa semakin berharga. Setiap kali aku memakainya, aku seakan kembali pada hari di mana beliau dengan ramah menyambut kami, membagikan cerita, dan menitipkan selembar doa dalam batik.
Di Hari Batik ini, aku tak hanya mengenakan kain, tapi juga kenangan. Sebab batik bukan sekadar busana, melainkan juga jejak sejarah, akulturasi, dan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia.
Lasem, dengan Batik Sekar Kencana, akan selalu punya tempat istimewa dalam perjalanan aku merayakan wastra Nusantara.
x.o.x.o
Dian Ravi. Muslimah travel blogger Indonesia. Jakarta. Part time blogger, full time day dreamer. Pink addict, but also love toska. See, even I cannot decide what’s my favorite color is.Mau bikin bahagia, cukup ajak jalan dan foto-foto.
Setiap traveler yang memilih paket tour lengkap dari Angkasatour pasti memiliki cerita menarik dari perjalanan…
Setelah sukses menjejakkan kaki di Gunung Papandayan (ceritanya bisa dibaca di sini atau versi reflektifnya…
Kayaknya aku tuh bisa banget dinobatkan sebagai ketua overthinker sedunia. Serius. Tiap hari, selalu ada…
Ada satu hal yang bikin aku males angkat telepon belakangan ini, apalagi kalau nomornya asing.…
Ada sensasi yang nggak pernah gagal muncul setiap kali menempuh perjalanan jauh pakai kendaraan pribadi.…
bismillahirrahmanirrahim, Jalan-jalan itu memang seru. Tapi jalan-jalan sambil kerja? Beda cerita. Sebagai travel content creator…