Wow, 2024 udah hampir berakhir aja! Gila, cuma dalam hitungan jam, tahun baru bakal datang, dan rasanya kayak baru kemarin aja kita merayakan tahun 2024. Sejak dulu, aku selalu merasa perasaan akhir tahun itu campur aduk. Ada yang senang, ada yang sedih, ada yang penuh harapan, dan ada juga yang penuh kekhawatiran. Aku nggak sempat bener-bener merenungi semua yang terjadi di tahun ini, karena dua bulan terakhir ini aku merasa hidupku super sibuk. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk duduk sejenak, tarik napas, dan mulai bercerita tentang apa aja yang udah aku jalani di 2024.
Cerita 2024: The Travel Galau Journey
Dimulai dari hari pertama di tahun 2024, semuanya terasa agak aneh. Suamiku, yang sejak September 2022 udah dapet surat pemberhentian dari kantornya, akhirnya memutuskan untuk berhenti kerja beneran di awal 2024. Sudah 23 tahun dia bekerja di perusahaan yang sama, dan walaupun aku tahu ini adalah keputusan yang tepat, tetap aja ada rasa sedih. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang juga kehilangan sesuatu, entah itu rasa aman atau rutinitas yang biasa ada. Apalagi aku khawatir dia akan merasa stres, kan kita baru aja ngelewatin beberapa bulan yang agak berat. Tapi, seperti kata pepatah, “Allah menutup satu pintu, tapi Allah akan membuka banyak jendela.”
Look at the bright side. Kami jadi punya banyak waktu berdua. Kebetulan banget, tahun ini kami merayakan 20 tahun pernikahan, dan aku udah nyiapin rencana road trip seru keliling Pulau Jawa, cuma berdua sama suami. Awalnya sih rencananya sempat molor karena perasaan yang belum jelas di awal tahun. Tapi akhirnya, pada tanggal 22 Januari 2024, kami berangkat juga!
Sukabumi, Gunung, dan Silaturahmi

Perjalanan pertama kami dimulai dari Sukabumi. Gak bisa dipercaya, akhirnya aku bisa ke Situ Gunung yang udah lama banget pengen aku datangi. Selain itu, aku juga pengen banget silaturahmi ke keluarga besar yang lama nggak ketemu. Dan ketika sampai di rumah uwa, kakak perempuan papa, dia langsung heboh banget! Sampai-sampai semua tetangga dipanggil buat kenalan sama ponakan yang sudah lama nggak datang. Rasanya tuh hangat banget, karena perjalanan ini bukan cuma soal traveling, tapi juga soal menjalin kembali tali silaturahmi.

Setelah Sukabumi, perjalanan kami dilanjutkan menyusuri pantai selatan. Mulai dari Ujung Genteng, Cianjur Selatan, sampai Garut Selatan, jalanannya beneran mulus banget, dan pemandangannya? Jangan ditanya, cantik banget! Kalau nggak ada Pemilu, rasanya pengen terus aja lanjut ke Jawa Timur buat nyusurin pantai-pantai selatan. Tapi karena harus balik ke Jakarta dulu, perjalanan pantainya sampai Garut Selatan aja.
Gunung Papandayan dan Kunjungan Keluarga

Dari pantai, kami melanjutkan perjalanan ke Garut, tapi mampir dulu ke Gunung Papandayan buat hiking. Ini pertama kalinya aku naik gunung, dan rasanya campur aduk, antara pengen nyerah tapi nggak mau, antara capek tapi semangat. Ada rasa bangga karena bisa menyelesaikan perjalanan ini, apalagi pas aku inget ini adalah hiking pertama aku. Lucunya, mama dan beberapa anggota keluargaku kebetulan ada di Garut juga, jadi aku pun sempat mampir ke vila mereka. Ini moment yang sangat berarti, karena siapa tahu lebaran nanti aku nggak bisa ke Bandung. Entah kapan bisa ketemu mereka lagi.
Dari Garut, perjalanan dilanjutkan ke Bandung. Dulu waktu mamih masih ada, aku bisa pulang ke Bandung 3-4 kali setahun. Tapi setelah Mamih meninggal, jadi rasanya udah lama banget aku nggak ke sana. Dari Bandung, kami lanjut ke Jakarta, tapi mampir sebentar di Purwakarta buat makan siang.
Repacking dan Rencana Lebaran

Setelah beberapa hari di Bandung, aku balik ke Jakarta sebentar untuk nge-packing lagi. Kali ini, perjalanan berikutnya bakal lebih panjang. Aku bakal lanjut ke Bondowoso dan lebaran di sana. Semuanya sudah siap, termasuk pakaian dan barang-barang yang harus dibawa. Rasanya sih repot, tapi juga menyenangkan. Pulangnya? Yaudah nanti aja, kalau ingat.
Pemilu sudah selesai, dan walaupun hasilnya nggak sesuai harapan, aku sadar bahwa hidup harus tetap berjalan. Begitu juga perjalanan kami. Kami mampir ke Majalengka, sebelum lanjut ke selatan, dan tentu saja mampir ke Ciamis. Ini adalah momen yang aku tunggu-tunggu, karena aku belum pernah pulang ke Ciamis sejak menikah. Apalagi aku masih punya kakek di sana dan keluarga besar yang sangat aku cintai. Salah satu kabar yang bikin hati berat adalah ketika aku mendengar kabar duka tentang salah satu keluarga yang meninggal dunia, yang akhirnya membuat pertemuan ini semakin bermakna.
Pantai, Kediri, dan Silaturahmi di Malang

Selesai berkunjung ke Ciamis, kami lanjut lagi ke pantai. Mulai dari Pangandaran, Gunung Kidul, sampai Pacitan. Tapi, ada satu kesalahan besar aku, yaitu memaksa mampir ke Purwokerto yang ternyata terlalu jauh dari jalur utama. Jadi, perjalanan kami jadi nggak maksimal menikmati pantai-pantai selatan Kebumen yang nggak kalah cantiknya.
Dari Pacitan, jalur selatan belum nyambung langsung ke timur, jadi kami harus balik ke utara. Pilihan berikutnya adalah Malang. Sebelum ke Malang, aku sempat bertanya-tanya, apakah lebih baik mampir ke Blitar atau Kediri. Karena dari dulu aku pengen banget ke Simpang Lima Gumul di Kediri, akhirnya kami memilih Kediri.

Di Malang, aku nggak cuma wisata, tapi juga silaturahmi. Suamiku dulu sekolah di STM Malang, dan karena jauh dari orangtua, dia sempat tinggal bersama keluarga asuh. Di sinilah aku bisa mengenal keluarga suami lebih dekat, yang tentunya jadi bagian penting dari perjalanan ini.
Setelah Malang, kami lanjutkan perjalanan ke Bondowoso, dan ini adalah kota terakhir sebelum kami akhirnya pulang ke Jakarta. Semuanya terasa santai, lebih ke menikmati perjalanan tanpa terlalu banyak drama. Bahkan, aku sempat mengunjungi Bromo, yang menjadi salah satu impian selama ini.
Bondowoso, Slow Living

Akhirnya, aku tiba di Bondowoso menjelang Ramadan, dan aku benar-benar menikmati kehidupan yang lebih santai dan slow living. Pagi-pagi aku jalan kaki nyari sarapan, kerja, istirahat, dan sore-sore jalan nyari takjil, atau kadang jalan-jalan random sama iparku. Perjalanan random ini bahkan berujung pada pembelian tanah dan calon rumah baru. Ternyata, aku bisa menikmati hidup yang jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Rasanya seperti hidup di dunia yang berbeda, jauh dari rutinitas yang penuh tekanan.
Selama dua bulan di Bondowoso, aku mulai merasa nyaman, apalagi kalau almarhumah ibu masih ada, pasti beliau akan sangat senang melihat aku bisa menikmati kehidupan seperti ini. Aku mulai membayangkan, mungkin ini tempat yang bisa jadi rumah bagi kami di masa depan. Tapi tentu saja, aku harus mempersiapkan pekerjaan yang bisa dilakukan dari Bondowoso.
Perjalanan Balik ke Jakarta dan Realita Hidup

Perjalanan balik ke Jakarta terasa lama, bukan karena banyak mampir, tapi karena rasanya badan mulai nggak fit. Yang tadinya pengen ke Jogja dan Solo, akhirnya cuma lewat tol. Istirahat di rest area sebentar-sebentar. Balik ke Jakarta, rasanya seperti kembali ke realita hidup yang penuh tekanan. Aku yang selama road trip bisa menulis cerita-cerita traveling dua kali seminggu, akhirnya menyerah karena kehidupan di Jakarta yang penuh drama. Ternyata hidup di Jakarta itu berat banget, ya?
Tapi, aku juga sadar kalau aku nggak bisa cuma berlarian tanpa arah. Aku terus berusaha sibuk, meskipun kadang merasa nggak jelas kerjaan apa yang aku jalani. Sampai-sampai, aku bisa nulis sampai 7 artikel dalam sehari, saking ingin mendapatkan penghasilan yang banyak.
Refreshing di Akhir Tahun dan Harapan 2025

Menjelang akhir tahun, aku merasa butuh refreshing. Aku kangen banget hangout sama teman-teman, dan akhirnya aku ajak beberapa teman staycation di Desember. Meskipun hanya berhasil bareng Amanda dan Yesi, aku merasa senang banget. Kalau dipikir-pikir, 2024 memang penuh perjuangan, tapi juga penuh kebahagiaan. Kebersamaan dengan suami, keluarga, dan teman-teman membuat semuanya terasa lebih berharga.
Harapan untuk 2025: More Travel, More Fun

Sekarang, mari kita bicara tentang 2025. Aku udah mulai mempersiapkan diri untuk fokus jadi konten kreator traveling. Aku ikut webinar, belajar banyak dari orang-orang yang sudah sukses di bidang ini, dan mulai menabung buat modal jalan-jalan. Suamiku mungkin akan kembali bekerja, dan aku berpikir untuk mencoba solo traveling. Karena, kenapa enggak?
Harapan aku di 2025 nanti adalah bisa lebih banyak traveling, tapi tetap produktif buat ngedit dan posting konten. Aku juga harus bisa bekerja dari mana saja. Syukurlah, beberapa bulan terakhir ini aku udah mulai menulis artikel untuk beberapa website perusahaan. Gajinya memang nggak besar, tapi kalau aku bisa menulis 100 artikel dalam sebulan, siapa tahu itu bisa jadi modal buat perjalanan jauh. Aku juga pengen lebih serius ngejalanin affiliate, jadi ada sumber pendapatan tambahan buat jalan-jalan.
Aku yakin, dengan tekad dan usaha, 2025 bisa jadi tahun yang penuh dengan perjalanan dan kesuksesan. Harapannya, semakin banyak brand yang mau kerjasama sama Travel Galau, dan semakin banyak tempat yang bisa aku jelajahi.
Kekhawatiran di 2025: Ekonomi dan Rasa Takut
Tentu saja, di tengah semangat untuk mewujudkan mimpi, ada juga kekhawatiran. Misalnya, rencana kenaikan PPN 12% yang bakal memengaruhi daya beli. Ini bikin aku mikir ulang tentang impian aku. Apakah mimpi ini terlalu tinggi? Di tengah kondisi ekonomi yang nggak pasti, apakah aku gila kalau cuma fokus ke traveling dan kesenangan?
Kadang, rasa tak percaya diri juga datang menghampiri. Aku mulai merasa takut kalau langkah-langkah yang aku ambil mungkin nggak tepat. Bisa nggak ya aku sukses jadi konten kreator traveling? Bisa nggak ya aku tetap punya pendapatan meski nggak bekerja di kantor? Semua pertanyaan itu muncul di kepala, dan kadang bikin aku merasa ragu. Tapi ya, mungkin ini saatnya untuk menyerahkan semuanya pada takdir. Yang penting, aku terus berusaha sekuat tenaga, dengan semangat yang positif.
Mungkin memang saatnya untuk belajar menerima apa yang ada, dan percaya kalau segala sesuatu akan berjalan sesuai jalannya. Que sera sera, whatever will be, will be. Mungkin aku nggak bisa mengontrol semua hal, tapi aku bisa mengontrol bagaimana aku menjalani hari-hari, bagaimana aku terus berusaha, dan bagaimana aku tetap menikmati perjalanan hidup ini. 2025 sudah di depan mata, dan yang pasti, aku nggak bisa kembali ke 2024. Yang bisa aku lakukan adalah terus maju.
Siap atau tidak, aku harus siap menghadapi tahun 2025. Bismillah…
Apakah Aku Siap Menyambut 2025?
Meskipun ada banyak ketakutan dan ketidakpastian, satu hal yang pasti: aku harus siap. Siap untuk menghadapi tantangan, siap untuk menjemput peluang, dan siap untuk lebih berani mengejar mimpi. Tahun baru adalah kesempatan untuk memulai babak baru, untuk memperbaiki diri, dan untuk terus berkembang. Aku yakin, meskipun 2025 akan penuh dengan tantangan, aku bisa menghadapi semua itu.
Bismillah, semoga Allah memberikan yang terbaik. Aku siap menyambut tahun baru, siap untuk perjalanan baru, dan siap untuk setiap langkah yang akan aku ambil di 2025. Semoga segala usaha yang aku lakukan bisa membawa berkah dan hasil yang baik. Amien.
Epilog: Menyongsong 2025 dengan Optimisme
Cerita perjalanan 2024 ini bukan sekadar catatan perjalanan, tapi juga refleksi perjalanan hidup. Dari rasa khawatir akan masa depan hingga kebahagiaan menemukan kebersamaan dan keindahan di setiap perjalanan. Tahun 2025 menanti dengan tantangan dan harapan baru. Aku akan terus menulis, terus menjelajah, dan terus mengukir cerita-cerita baru. Semoga mimpi menjadi travel content creator bisa terwujud, dan semoga jalan yang kupilih ini membawa keberkahan. Yang terpenting, aku akan tetap optimis dan selalu bersyukur atas setiap anugerah yang diberikan Allah.

Dian Ravi. Muslimah travel blogger Indonesia. Jakarta. Part time blogger, full time day dreamer. Pink addict, but also love toska. See, even I cannot decide what’s my favorite color is.Mau bikin bahagia, cukup ajak jalan dan foto-foto.