bismillahirrahmanirrahim,
Tulisan Batik Bu Sutra ini sudah pernah gue tulis sebelumnya di blog DianRavi.com Gue tulis ulang di sini agar seluruh perjalanan menikmati wisata Lasem bisa terarsip di Travel Galau dengan lengkap.
“Habis ini kita ke rumah batik satunya lagi ya, Mbak,”sahut Mas Pop yang menjadi tour guide gue dan Mas Metra selama di Lasem 2014 lalu.
Gue sih ngangguk aja, tanda setuju. Pokoknya satu hari ini gue serahkan seluruh perjalanan sama Mas Pop. Setelah cukup lama gue dibuat mupeng dengan cuitannya tentang Lasem Harritage, bisa berada di kota Lasem dan ketemu sama sosok dibalik cuitan-cuitan itu, sudah cukup buat gue. Tinggal nurut dan menikmati pesona Lasem.
Ini akan jadi persinggahan rumah batik ke tiga kami di Lasem. Jam yang tertera di telepon genggam gue baru menunjukan pukul sebelas kurang. Padahal selain rumah batik kami sudah mengunjungi beberapa tempat lainnya. Wow, waktu berasa jalan lambat di kota Lasem. Kalau di Jakarta mungkin untuk pergi ke satu tempat saja akan memakan waktu paling tidak satu-dua jam perjalanan.
Kali ini Mas Pop membawa kami menyusuri Desa Karangturi. Tembok-tembok putih dengan pintu besar aneka warna kembali memanjakan mata. Ini salah satu pesona Lasem yang bikin gue ketagihan, setiap sudutnya begitu instagramable, seakan memanggil untuk berhenti dan dijadikan spot foto.

Motor kami berhenti di salah satu rumah tersebut. Mas Pop memberi kode agar Mas Met memarkirkan motor sewaan kami ke dalam. Sambil menanti Mas Met selesai parkir, gue mengamati sekeliling halaman.
Rumah Batik Bu Sutra ini enggak jauh berbeda dengan rumah Batik Sekar Kencana milik Pak Sigit yang sebelumnya gue kunjungi. Terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah. Mungkin yang membedakan hanyalah warna kayu. Bila sebelumnya di rumah Pak Sigit, pintu, kusen, dan dinding panel kayu didominasi warna coklat dan kuning, di rumah Bu Sutra yang tampak semuanya adalah hijau toska. Tapi hampir semua layout rumahnya sama. Ada bagian depan untuk menerima tamu, dapur dan tempat batik berada di paling belakang. Lagi-lagi gue bisa merasakan gambaran rumah batik yang diceritakan oleh Arswendo Atmowiloto dalam novel yang berjudul Canting.

Satu hal yang membuat rumah Bu Sutra terasa berbeda dengan dengan rumah Pak Sigit. Ketika singgah di rumah Pak Sigit, di bagian ruang depan tampak banyak sekali pigura menghiasi dinding. Bahkan Pak Sigit tak segan-segan menunjukan gambar-gambar pada pigura itu. Ada foto keluarga sampai kliping-kliping koran yang memuat tulisan soal dirinya. Sementara di rumah bu Sutra hanya tampak beberapa pigura yang sepertinya adalah foto lama semua, yang sepertinya bukan foto-foto Bu Sutra.

“Batik disini ga ada merk-nya, Mbak. Enggak seperti rumah-rumah batik lain,” mas Pop memberi penjelasan seraya kami berjalan ke bagian belakang rumah tempat batik-batik ini dibuat.
“Loh, Bu Sutra itu bukan nama dagangnya ya?”
“Bukan, Mba. Bu Sutra itu yang punya. Dulunya dia buruh batik di sini. Tapi kemudian diwariskan sama yang punya rumah untuk urus bisnis batik ini. Saya sudah usulkan pakai merk Bu Sutra aja. Tapi ibu nya enggak mau. Malu katanya, Mbak.”
“Kenapa malu, Mas?”
“Bu Sutra itu emang pemalu, Mba Dian. Dulu awal-awal saya bawa rombongan ke sini bahasa tubuhnya itu kelihatan banget kalau enggak nyaman. Enggak biasa nerima tamu. Kalau sekarang sih wah udah lenje. Bisa canda-canda sama tamu. Nanti Mbak liat sendiri deh.”
Mas Pop menghentikan langkahnya dan menghampiri seseorang yang gue duga mungkin salah satu karyawan di rumah Bu Sutra ini. Mas Pop menanyakan keberadaan Bu Sutra. Tapi nampaknya yang punya rumah sedang tidak di tempat.
“Bu Sutra nya sedang keluar, Mba. Semoga enggak lama ya. Dulu itu pernah loh saya bawa rombongan agak banyak. Padahal udah janjian sama Bu Sutra, eh sampai sini beliaunya enggak ada. Ditunggu beberapa lama, akhirnya beliau datang pakai sepeda. Ternyata dari pasar,” mas Pop melanjutkan bercerita.
Ah gue jadi semakin penasaran ingin bertemu dengan sosok Bu Sutra. Semoga aku masih berjodoh bisa bertemu dengan beliau.
Gue tiba di tempat dimana para pengrajin Bu Sutra sedang membatik. Yang pertama memikat mata adalah sebuah tembok yang gue duga semula berwarna putih kini tampak berlumut dan di beberapa titik tampak catnya sudah mengelupas dan menampakan jejeran batu bata. Mungkin termakan usia, mungkin juga akibat terkena api kompor saat malam dilelehkan guna membuat batik.

“Silakan Mbak dilihat-lihat batiknya. Enggak beli juga ga pa-pa kok. Disini cuma ada motif lawasan tapinya. Jumlahnya juga enggak pernah banyak. Pernah dulu saya bawa rombongan besar, mereka sampai rebutan loh, Mbak.”
Lasem dan batik merupakan dua hal yang sepertinya susah dilepaskan. Konon batik Lasem sudah ada sejak beberapa abad. Bahkan batik 3 negeri yang begitu terkenal merupakan paduan batik Pekalongan, Lasem, dan Solo. Bayangkan selembar kain batik pewarnaannya harus dilakukan di 3 wilayah yang berbeda. Warna merah didapatkan dari Lasem, biru dari Pekalongan, dan warna coklat dan sogan dari Solo. Salah satu kekhasan dari batik Lasem memang pada warna merah. Hal ini dikarenakan pengaruh etnik Tionghoa yang kuat di daerah Lasem dan juga karena kandungan mineral yang menjadikan warna merahnya berbeda dengan daerah lain.
Gue melihat-lihat beberapa lembar batik yang ditunjukan oleh mas Pop. Sebenarnya aku berminat mengoleksi selembar kain batik dari Lasem lagi. Tapi berhubung sebelumnya gue sudah membeli 2 lembar batik Lasem, kali ini terpaksa menahan diri untuk tidak membeli. Lagipula motif gunung ringgit yang menjadi incaran sedang tidak ada.

Mas Pop melanjutkan tur dengan menunjukan beberapa bagian lain dari rumah Bu Sutra. Ada dapur juga tempat dimana para pembatik berganti pakaian. Rupanya pakaian yang mereka gunakan saat sedang membatik tidak sama dengan pakaian yang mereka kenakan saat dari rumah. Mereka berdandan rapih menuju rumah Bu Sutra. Dan kemudian berganti pakaian dengan yang lebih santai untuk bekerja.
Sebelum pamit pulang, gue sempat bertanya pada ibu-ibu pengarjin batik ini, sudah berapa lama mereka bekerja pada batik Bu Sutra. Tahu jawabannya? Mereka pun bingung. Enggak ada yang ingat sudah berapa lama mereka bekerja sebagai pembatik. Malah salah satu dari mereka ada yang nyeletuk pada temannya, “Anakmu yang besar itu udah umur berapa? Kalau enggak salah saya mulai batik ya pas anak kamu itu mau setaun.” Yang kemudian disahut lagi sama rekannya, “Bukan. Udah lebih lama lagi. Wong waktu hamilnya sudah ngebatik kok.” Akhirnya pertanyaan gue pun tak terjawab.

Rupanya kata setia bukan hanya pada Bu Sutra yang menerima warisan usaha batik dan melanjutkannya. Tapi juga pada karyawan-karyawannya. Mereka bekerja tanpa mengenal jenuh untuk terus melestarikan batik Lasem.
Matahari semakin tinggi. Saatnya bagi kami untuk melanjutkan kunjungan ke tempat berikutnya. “Kemana kita, mas Pop?”
26 Juli 2021 lalu, gue menerima kabar duka dari Mas Pop. Bu Sutra meninggal dunia. Kabar duka kedua dari Lasem, setelah sebelumnya Pak Sigit tutup usia.
Ketika kembali ke Lasem 2019 lalu, lagi-lagi gue enggak bisa bertemu dengan Bu Sutra. Batik Bu Sutra sudah tutup, begitu yang gue tahu dari Mas Pop. Padahal gue masih penasaran ingin bertemu beliau. Gue juga rindu dengan rumah batik Bu Sutra yang memorable. Dindingnya itu lho, yang sampai dibuat untuk background pertunjukan teater Hitam Putih Lasem.
Selamat jalan, Bu Sutra.
x.o.x.o


Dian Ravi. Muslimah travel blogger Indonesia. Jakarta. Part time blogger, full time day dreamer. Pink addict, but also love toska. See, even I cannot decide what’s my favorite color is.Mau bikin bahagia, cukup ajak jalan dan foto-foto.
keren banget cerita batik bu sutra ini. ga kebayang rasanya kerja di satu tempat bertahun-tahun. aku setahun ini aja kerja di 2 tempat, kak. sampai dibilang kutu loncat
turut berduka cita ya, mba
proses bikin batik itu lama banget ya, kebetulan aku pernah buat batik. suka sedih kalau ada orang yang bilang harga batik mahal terus ditawar sampai murah banget. udah saatnya kita menghargai proses bikin batik